Refleksi Pendidikan Bersama Paulo
Freire
SECARA kebetulan Hari Pendidikan
Nasional 2 Mei bertepatan dengan meninggalnya filosof pendidikan terkemuka abad
ke-20, Paulo Freire, pada 2 Mei 1997. Tulisan ini dimaksudkan sebagai renungan
memperingati Hardiknas dengan mendiskusikan pemikiran Freire dan kemungkinan
dikontekstualisasikan di Indonesia.
Untuk menggambarkan betapa pentingnya
Freire dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan
Carlos Alberto Torres (1997) "Educators can be with Freire or against
Freire, but not without Freire." Pernyataan ini menunjukkan signifikansi
Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan
buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang
humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada
manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang
"menos feio, menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel,
less inhumane).
Mengapa Freire punya banyak pengikut?
Menurut kesaksian Martin Carnoy (1998), dikarenakan dia mempunyai arah politik
pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah
politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the
oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter,
tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas
karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.
Paling tidak ada dua ciri orang
tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya.
Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang
lain.
Kedua, mereka mengalami
self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka
telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi
menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang
mengetahui. Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire
berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and
unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi
subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau
makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan
ontologis (ontological vocation) manusia.
Sebaliknya, dehumanisasi adalah
distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu
pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah
nasibnya.
Dengan demikian, tugas utama
pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai
tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda:
meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya
mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung.
Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan
lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan,
tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu
tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat
kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus.
Idealitas itu bisa dicapai jika proses
pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang
bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti
hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat
(bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu
pengetahuan.
Guru, dalam pandangan Freire, tidak
hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi
mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers).
Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai
aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan
hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai
medium untuk mereproduksi status quo.
Jika pendidikan dipahami sebagai aksi
kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya
sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam
menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan
Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and
speaking a word must be related to transforming reality." Dengan demikian,
harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan
di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada
dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.
PELAJARAN yang bisa ditarik Freire
untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum
marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa
sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah
sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi
"anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan
yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang
luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu
menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah
dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?
Bukankah dengan membiarkan kesenjangan
itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles dan
Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah
hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan
dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo?
Ada dua kelompok kaum marjinal yang
tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal
pendidikan:
Pertama, penyandang cacat. Kelompok
ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai.
Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka
dibedakan dengan kaum "normal." Segregasi pendidikan ini telah
berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing
dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja
maksimal.
Jika asumsi ini benar, bukankah tugas
sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak mampu,
mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika
asumsi itu salah, bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat
pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang normal? Tidakkah ini berarti
diskriminasi?
Dampak lain dari segregasi pendidikan
adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka
tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga
kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang
memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang
cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya
bergaul dengan sejenisnya di sekolah.
Kedua, anak-anak jalanan. Secara
kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah
kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan.
Di mana peran negara dalam memberi pendidikan yang layak buat mereka? Meski
negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah negara
telah diamanati UUD?
Jika kita memakai perspektif Paulo
Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subyek yang otonom dan
bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan
kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil.
Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa
mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan,
berhak melawan segala bentuk diskriminasi.
Saya pesimistis jika kedua kelompok
itu telah terakomodir secara maksimal dalam RUU Sisdiknas. Jarang sekali mereka
disinggung dalam perdebatan RUU ini. Karena itu, sudah saatnya kita
memperhatikan sungguh-sungguh masa depan kedua kelompok ini. Pendidikan kita
sudah seharusnya berpihak kepada mereka, bukan mengabdi kepentingan masyarakat
dominan.
Yang Terlewatkan dalam Pendidikan
ADA kesan kuat, baik guru, orangtua,
maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan
sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu
bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Salah satu penyebab merebaknya
korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup
selalu dipandu nurani.
Pagi-pagi, seorang ibu dan anaknya
dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Pertemuan itu tak
lebih dari 10 menit. Ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria.
Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi?
Rupanya ibu dan anak itu berhasil
memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang
signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat
jelas. Orangtua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa
dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja.
Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu,
orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang
atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa
ditawar. Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk
mengajarkan kejujuran di mata anaknya.
Belum lama ini saya dibuat tercenung
membaca Pojok Kompas (15/1). Tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di
Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di
lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal
baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih
besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan
sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah
yang hendak dibersihkan.
Pendidikan berbasis karakter
Pendidikan adalah usaha sistematis
dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi
dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati
nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih
produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga
komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit
diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses
materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya,
orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel,
tetapi kepribadiannya keropos.
Seseorang merasa diri hebat dan
berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski
diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm
disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk
selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan
kualitas moral.
Ketika pendidikan tidak lagi
menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan
dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan
physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar
sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan
hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu
meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical
happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat
adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan
menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral,
estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh
moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.
Selama ini produk pendidikan amat
kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi
keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup
dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan
dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses
pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi
serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.
Sebenarnya tak ada benda mati di
hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya
hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan.
Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan
kehidupan secara menyeluruh.
Sebuah kasus menarik saat bencana
tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain
karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan
mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang. Kalaupun
ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak
di kandang.
Belajar dan mengajar dengan hati
Seiring munculnya kesadaran dan
tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan
baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran. Dipopulerkan
oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa
vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian
diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training
ESQ- Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.
Pelatihan ini menghasilkan lebih dari
50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan
bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini telah masuk kurikulum SESKOAD
Bandung. Fenomena ini tentu amat menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran
etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta
mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur
kemanusiaan dan ketuhanan.
Ada beberapa buku yang sebaiknya
dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave
Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu
pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar
menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif. Pembelajaran yang menjadikan siswa
sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi
multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian,
proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan
lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi bagian
integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk
membantu memecahkan problem kemanusiaan.
Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah
produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia.
Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya
malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan pelaku
pasar yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang
dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua
harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi
pendidikan karakter.
Pendidikan dan Pembangunan Ekonomi
TESIS bahwa pendidikan memberi
kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi telah menjadi
kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian akademis dan penelitian
empiris telah membuktikan keabsahan tesis itu.
Buku terakhir William Schweke, Smart
Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi
atas tesis ilmiah para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan
melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan
keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim
bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, investasi di bidang
pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas
bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan
meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan
jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem
krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare
dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
MEMASUKI abad ke-21, paradigma
pembangunan yang merujuk knowledge-based economy tampak kian dominan. Paradigma
ini menegaskan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu
pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas
antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga,
pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang
mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang. Sebagai ilustrasi,
Jepang adalah negara Asia pertama yang menjadi pelopor pembangunan perekonomian
berbasis ilmu pengetahuan. Setelah Jepang, menyusul negara-negara Asia Timur
lain seperti Singapura, China, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan.
Melalui artikel ini penulis bermaksud
mencermati kontribusi pendidikan terhadap pembangunan ekonomi dengan melihat
perbandingan antara Korea mewakili Asia serta Kenya dan Zimbabwe mewakili
Afrika. Pilihan tiga negara ini menarik karena semula Korea, yang secara
ekonomi tertinggal, ternyata mampu mengungguli dan kemudian meninggalkan kedua
negara Afrika itu. Beberapa indikator ekonomi makro menunjukkan perubahan amat
signifikan antara ketiga negara berbeda benua itu. Yang-Ro Yoon, seorang
peneliti ekonomi Bank Dunia, dalam Effectiveness Born Out of Necessity: A
Comparison of Korean and East African Education Policies (2003), mengemukakan
sejumlah temuan menarik berdasarkan observasi di tiga negara itu. Pada dekade
1960-an GNP per kapita Korea hanya 87 dollar AS, sementara Kenya 90 dollar AS.
Memasuki dekade 1970-an GNP per kapita Korea mulai meningkat menjadi 270 dollar
AS, namun masih lebih rendah dibanding Zimbabwe yang telah mencapai 330 dollar
AS.
Indikator lain seperti gross savings
rate (persentase terhadap GDP) juga menunjukkan, Korea lebih rendah dibanding
kedua negara Afrika itu. Pada pertengahan 1970-an, gross savings rate masing-masing
negara adalah: Korea 8 persen, Kenya 15 persen, dan Zimbabwe 14 persen.
Meski demikian, dalam hal pembangunan
pertanian Korea relatif lebih unggul. Sektor pertanian memberi sumbangan
terhadap GDP sebesar 37 persen di Korea, 35 persen di Kenya, dan 20 persen di
Zimbabwe.
Memasuki dekade 1980-an, pembangunan
ekonomi di Korea berlangsung amat intensif dan pesat. Bahkan antara periode
1980 dan 1996 dapat dikatakan sebagai masa keemasan saat negeri gingseng itu
mampu melakukan transformasi ekonomi secara fundamental. Pada tahun-tahun itu
pertumbuhan ekonomi Korea melesat jauh meninggalkan Kenya dan Zimbabwe.
Pada tahun 1996 GNP per kapita Korea
telah mencapai 10,600 dollar AS (meski lalu menurun menjadi 7.980 dollar AS
tahun 1998 saat terjadi krisis moneter). Sedangkan GNP per kapita Kenya dan
Zimbabwe masing-masing 320 dollar AS dan 610 dollar AS.
Perbedaan yang signifikan juga
terlihat pada gross savings rate yakni 36 persen di Korea, 12 persen di Kenya,
dan 17 persen di Zimbabwe. Pertumbuhan ekonomi Korea yang mengesankan ini
terkait keberhasilan dalam menurunkan angka pertumbuhan penduduk selama tiga
dekade: dari 2,7 persen tahun 1962 menjadi 0,9 persen pada 1993.
Sementara pertumbuhan penduduk di
Kenya justru meningkat dari 3,2 persen tahun 1965 menjadi 4,2 persen tahun
1980, meski kemudian menurun menjadi 2,6 persen pada tahun 1995.
TIDAK diragukan lagi, salah satu kunci
keberhasilan pembangunan ekonomi di Korea adalah komitmen yang kuat dalam
membangun pendidikan. Berbagai studi menunjukkan, basis pendidikan di Korea
memang amat kokoh. Pemerintah Korea mengambil langkah-langkah ekspansif antara
1960-an dan 1990-an guna memperluas akses pendidikan bagi segenap warga negara.
Program wajib belajar pendidikan dasar (universal basic education) sudah dilaksanakan
sejak lama dan berhasil dituntaskan tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai
tahun 1984. Sedangkan wajib belajar jenjang SLTP berhasil dicapai tahun
1980-an; dan jenjang SLTA juga hampir bersifat universal pada periode yang
sama. Yang menakjubkan, pada jenjang pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi
besar-besaran; lebih dari setengah anak-anak usia sekolah pada level ini telah
memasuki perguruan tinggi.
Komitmen Pemerintah Korea terhadap
pembangunan pendidikan itu tercermin pada public expenditure. Pada tahun 1959,
anggaran untuk pendidikan mencapai 15 persen dari total belanja negara, guna
mendukung universal basic education dan terus meningkat secara reguler menjadi
23 persen tahun 1971. Setelah program ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan
anggaran pendidikan pada kisaran antara 14 sampai 17 persen dari total belanja
negara atau sekitar 2,2 sampai 4,4 persen dari GNP. Menyadari bahwa pendidikan
dasar merupakan bagian dari public good, tercermin pada social return lebih
tinggi dibanding private return, maka Pemerintah Korea mengalokasikan anggaran
untuk pendidikan dasar jauh lebih besar dibanding level menengah dan tinggi.
Penting dicatat, selain faktor basis
pendidikan yang lebih kuat, kelas menengah ekonomi di Korea juga terbentuk dengan
baik dan mapan. Pada dekade antara 1960-an dan 1980-an, kalangan pengusaha
Korea telah membangun hubungan dagang dan membuka akses pasar ke negara-negara
kawasan seperti Jepang, bahkan telah menyeberang ke Amerika dan Eropa.
Korea sukses melakukan inovasi
teknologi (otomotif dan elektronik) karena memperoleh transfer teknologi
melalui hubungan dagang dengan negara-negara maju tersebut.
Bercermin pada pengalaman Korea,
Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya
membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata
berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial.
Untuk itu, investasi di bidang
pendidikan harus didukung pembiayaan memadai, terutama yang diperuntukkan bagi
penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Mengikuti
agenda Millenium Development Goals (MDGs), tahun 2015 Pemerintah Indonesia
harus menjamin bahwa seluruh anak usia sekolah dasar akan memperoleh pendidikan
dasar.
Bersamaan dengan itu, akses ke
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas, guna mendukung
upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi pembangunan
ekonomi di masa depan.
Petaka Pendidikan Nasional
Dua kali ujian nasional pada 2006 memberi kejutan.
Pertama, ketika angka kelulusan melonjak luar biasa. Pada tingkat sekolah
menengah atas, dari 80,76 persen naik menjadi 92,50 persen, dan madrasah
aliyah, dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen. Adapun untuk sekolah menengah
kejuruan, dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen. Kedua, pengakuan guru dan
murid dari berbagai daerah bahwa mereka telah melakukan dan menyaksikan
kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional.
|
Bagian pertama menjelaskan hasil,
bagian kedua menjelaskan proses. Hasil ujian nasi0nal yang gilang gemilang dan
telanjur membuat bangga pemerintah ternyata didapat dari proses manipulatif.
Karena itu, para guru yang mengetahui proses memperingatkan pemerintah agar
tidak menjadikan tingginya persentase kelulusan sebagai indikator peningkatan
mutu pendidikan nasional.
Para guru bukannya tidak mengetahui
risiko atas apa yang dilakukannya, tapi nurani mereka berontak. Selama empat
kali pelaksanaan ujian nasional, harus diam dan terus membodohi diri sendiri
hanya untuk memuaskan kepentingan atasan. Selain itu, ujian nasional telah
merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Mereka yang mengetahui
seluk-beluk mengenai murid, tapi kemudian pemerintah yang memutuskan siapa yang
berhak atau tidak berhak lulus. Intervensi tersebut jelas menggambarkan
rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru.
Apa yang diungkapkan oleh para guru
sungguh mencengangkan. Ujian nasional, yang oleh pemerintah diharapkan mampu
mendorong murid agar belajar lebih giat, ternyata dimanipulasi secara sistemik.
Setidaknya ada tiga modus yang digunakan dalam kecurangan ujian nasional dan
ketiganya memposisikan guru sebagai operator. Pertama, sebelum ujian nasional
dilaksanakan. Cara yang dipakai dengan membocorkan soal. Misalnya pengakuan
murid di Garut, mereka diperintahkan datang lebih awal ke sekolah agar bisa
memperoleh jawaban dari guru.
Kedua, jawaban dibuat pada saat
ujian. Biasanya dilakukan oleh tim, yang berisi guru bidang studi. Proses
distribusi jawaban bervariasi, ada yang menggunakan telepon seluler, seperti
yang terjadi di Cilegon. Dalam satu kelas, satu atau dua murid dijadikan
sebagai simpul. Mereka bertugas menerima dan membagikan jawaban kepada yang
lain melalui kode tertentu. Ada pula yang memakai kertas kecil atau kertas
unyil. Murid mengambilnya di tempat yang sudah disepakati dengan tim.
Ketiga, tim bekerja setelah ujian
nasional selesai. Biasanya murid diminta tidak menjawab pertanyaan yang
dianggap sulit karena nantinya tim yang akan mengisi. Tapi ada pula yang
membiarkan murid menjawab. Apabila salah, tugas tim yang akan membetulkan.
Walau lokasi kecurangan umumnya terjadi di sekolah, bukan berarti Departemen
Pendidikan Nasional bisa lepas tanggung jawab. Sebab, sumber masalahnya ada
pada kebijakan ujian nasional. Melalui ujian nasional, pemerintah telah
melakukan re-sentralisasi pendidikan, padahal di sisi lain, pelayanan dan
pembiayaan cenderung didesentralisasi.
Dasar resentralisasi adalah asumsi
bahwa biang keladi buruknya mutu pendidikan adalah guru dan murid malas
belajar. Agar mereka rajin, penentuan kelulusan harus diambil alih. Padahal
pemerintah sendiri telah gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan
pendidikan bermutu, yang membuat guru dan murid tidak nyaman dalam menjalankan
proses belajar-mengajar. Melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah
dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisinya tidak memungkinkan
untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih
buruk. Karena itu, dipilih cara instan, yaitu dengan melakukan manipulasi.
Apalagi hasil ujian nasional juga mempertaruhkan citra daerah dan sekolah.
Tidak mengherankan apabila terjadi penekanan secara berjenjang. Pemerintah daerah yang merasa tertekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Ambil contoh di Garut. Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95 persen (Republika, 17 Mei 2006). Dengan demikian, ujian nasional sudah tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Pada akhirnya, kebijakan ujian nasional kontraproduktif bagi pendidikan nasional. Tujuan yang ingin dicapai gagal total, sedangkan yang didapat hanyalah masalah. Kecurangan sistemik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional, tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid. Kreativitas murid terkungkung. Mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas, dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi. Semua tujuan ini akan tercapai jika murid diberi banyak waktu dan kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya dalam berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah.
Tidak mengherankan apabila terjadi penekanan secara berjenjang. Pemerintah daerah yang merasa tertekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Ambil contoh di Garut. Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95 persen (Republika, 17 Mei 2006). Dengan demikian, ujian nasional sudah tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Pada akhirnya, kebijakan ujian nasional kontraproduktif bagi pendidikan nasional. Tujuan yang ingin dicapai gagal total, sedangkan yang didapat hanyalah masalah. Kecurangan sistemik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional, tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid. Kreativitas murid terkungkung. Mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas, dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi. Semua tujuan ini akan tercapai jika murid diberi banyak waktu dan kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya dalam berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah.
Selain itu, atas alasan gengsi
daerah dan sekolah serta memuaskan pemerintah pusat, semangat belajar dan
bekerja keras para murid dan guru telah dihancurkan. Tidak ada lagi penghargaan
bagi mereka yang mau bersusah payah belajar, karena semuanya sudah diambil alih
oleh tim sukses ujian nasional. Dampak paling berbahaya adalah tertanamnya
mental terabas di kalangan murid. Lewat kecurangan, mereka secara tidak
langsung telah diajari agar tidak lagi menghargai proses. Cara apa pun boleh
digunakan, halal ataupun haram, asalkan tujuan bisa tercapai. Tentu saja
kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
Karena itu, apabila yang dijadikan
solusi hanyalah menghukum atau memberi sanksi kepada daerah atau sekolah yang
curang, masalah tidak akan selesai. Justru yang harus dilakukan pemerintah
adalah menghilangkan akar masalah utamanya, yaitu kebijakan ujian nasional.
Pemerintah harus mulai mengubah mental terabas dengan mental kerja keras.
Apabila menginginkan mutu pendidikan bagus, harus dimulai dengan memberi
pelayanan yang bagus pula.
Ade Irawan, MANAJER MONITORING
PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH, SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
Mau ke Mana Pendidikan Dasar Kita?
MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak
Indonesia telah memperoleh akses pendidikan dasar. Meski demikian, kita juga
perlu mawas diri. Dalam rangka mawas diri inilah, saya tidak tahu kita harus
menangis atau tertawa jika menengok aneka indikator yang tersedia untuk dikaji.
Salah satu komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu
Rata-rata Lama Pendidikan, menunjukkan angka- angka yang kurang membanggakan,
terutama setelah merdeka lebih dari setengah abad. Angka tertinggi dimiliki
Jakarta (9,7 atau setara dengan lulus SLTP), terutama Jakarta Selatan (10,0
atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah Nusa Tenggara Barat (5,2
atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau tidak
sampai kelas III SD). Apa sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun pendidikan
nasional pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan 0-10 tahun seharusnya
sudah berganti dengan mereka yang memperoleh akses lebih baik. Mari kita
memeriksa dua indikator penting sebagai berikut:
Akses terhadap pendidikan
Akses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik
tentang berapa banyak anak kita yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan
yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Indikator yang digunakan adalah:
Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah, Angka Kelulusan, Angka
Melanjutkan, dan Angka Penyelesaian. Angka-angka ini bersumber pada data
Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir semua indikator cukup
memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95;
dan APS: 98,53), berarti hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di
sekolah. Angka Mengulang (5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7 persen)
cukup rendah.
Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan
(tepat waktu) dan Angka Melanjutkan. Meski kebanyakan anak yang melanjutkan ke
SD/MI akan lulus, tetapi hanya sekitar 71,8 persen yang berhasil menyelesaikan
sekolah tepat waktu (enam tahun). Angka Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan,
karena hanya separuh (51,2 persen) yang akhirnya melanjutkan ke SMP/MTs.
Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat
dipengaruhi Angka Menyelesaikan dan Angka Melanjutkan yang relatif rendah. Di
tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup tinggi (APM: 59,18; APK: 77,44;
APS: 77,78) dan Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen untuk semua kelas) dan
Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup rendah. Sekali lagi yang mengganggu
adalah Angka Menyelesaikan karena hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan
sekolah tepat waktu.
Kualitas pendidikan
Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat
pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari
kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh adalah
baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60 persen dari
materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat merisaukan. Jika standar kualitas
itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya
24,12 persen SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. Di antara
mereka hanya 0,03 persen yang tergolong "baik sekali" dan 2,14 persen
tergolong "baik".
Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan
salah satu tolok ukur kualitas, maka kesan yang diperoleh adalah standar mutu
telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di lapangan menunjukkan distribusi
guru dan kelas memang tidak merata, terutama antara kota dan desa. Selain itu,
untuk semua provinsi masih ada sekolah-sekolah SD/MI maupun SMP/ MTs yang harus
melakukan jam masuk sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan.
Ketersediaan Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari
sekolah SMP/MTs yang ada meski tanpa ada informasi tentang kelayakan fasilitas
yang ada. Kualitas fisik yang digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan
atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan, kurang dari separuh (42,82
persen) fasilitas ruang kelas SD/MI berkategori "baik" dan pada
tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori itu.
Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria
kualitas ditentukan dengan prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk mengajar di
SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan kriteria itu, hanya 49,9 persen guru
SD/MI dan 66,33 persen guru SMP/MTs yang memenuhi standar kualitas. Sayang,
standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak tersedia.
Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur
kualitas yang penting. Pada tingkat SD akses terhadap buku adalah 75 persen
untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Angka akses terhadap
buku menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang tersedia masih ada
kesenjangan dalam akses terhadap buku wajib yang berkisar dari 38,8 persen
sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang paling rendah adalah buku
IPA).
Mencari solusi
Rata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat
SLTP sebesar 70 persen dengan kesenjangan berkisar dari 37,6 persen sampai 99,5
persen. Dari data yang ada, penyediaan buku-buku IPA, Fisika, dan Biologi masih
terbatas. Selain akses, mutu dari isi pelajaran juga mungkin bermasalah.
Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh, ditemukan isi buku-buku
teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku
teks geografi SLTP yang menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah
usang.
Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah.
Data-data itu tersedia di lingkungan departemen. Artinya, semua birokrat
pendidikan tahu masalah dalam angka itu. Meski demikian, ada aneka masalah lain
yang diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian serius dalam policy making.
Misalnya, kita tahu dengan subsidi pemerintah, masyarakat mampu menyekolahkan
anak ke SD meski masih banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan,
yaitu buku pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi
dan makanan (jajan) untuk anak. Pada tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar.
Persoalan ini klasik, tetapi solusi tak ada yang signifikan. Orangtua masih
dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan buku terbitan Depdiknas, membeli
seragam dan membayar ongkos transpor dan makanan anak sendiri.
Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan
di Indonesia dilakukan Depdiknas dan departemen lain, khususnya Departemen
Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen ini amat berbeda sehingga
menciptakan kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah berbasis agama di bawah
Departemen Agama banyak dilakukan dalam skala amat kecil sehingga anak tidak
terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas
karena sensitif.
Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak
pakai, tetapi aneka keluhan bagai teriakan di padang pasir. Penyebabnya jelas,
tanggung jawab pembangunan ada di tingkat kabupaten (Depdagri melalui kantor
dinas). Selain persoalan korupsi, tidak semua pemerintah lokal mempunyai
komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan.
Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan
komitmen guru, tetapi kita tidak dapat melawan kehendak zaman yang kian alergi
dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP. Profesi guru menjadi tidak menarik di
banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan finansial dan penghargaan
profesional.
Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara
menyeluruh diperlukan komitmen tinggi masyarakat dan pemerintah. Masalah ini
sering menjadi wacana politik dan tetap tinggal sebagai wacana seperti dalam
grafik berikut. (grafik)
Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen
Indonesia sampai tahun 1999- 2001 adalah yang terendah. Kenyataan ini sudah
lebih dari dua dasawarsa.
Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu
per satu secara serius, kita justru sibuk mengutak-atik kurikulum,
"bermain-main" dengan Ujian Nasional, bereksperimen dengan sistem
pengelolaan sekolah, sibuk dengan menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan
berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua yang kita
lakukan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan lebih baik
dialokasikan untuk menyelesaikan hal-hal yang lebih mendasar dulu. Dalam
menyaksikan berbagai gebrakan Depdiknas, kita bertanya: Mau dibawa ke mana
anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola seperti ini, sepuluh tahun lagi
angka-angka yang sama akan kita jumpai. Semoga tidak demikian!
Irwanto Dosen
Fakultas Psikologi, Ketua Lembaga Penelitian Unika Atma Jaya, Jakarta
Tentang Pendidikan Holistik
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang
berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan
identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat,
lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan
holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik,
diantaranya : Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson
Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya,
kita mencatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan
holistik, adalah : Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John
Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu
Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan
Illich, dan Paulo Freire.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan
holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural
pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali
kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang
signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik
Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979,
dengan menghadirkan The Mandala
Society dan The National Center
for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para
penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan
holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility
dan reverence. Berbeda
dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih
diartikan sebagai writing, reading
dan arithmetic atau di
Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan
potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan
menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan
dapat menjadi dirinya sendiri (learning
to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil
keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya,
memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan
emosionalnya (Basil Bernstein).
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan
harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai
dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian;
dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang
dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional,
fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung
jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu
strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana
orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan
strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan
pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3)
pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna,
dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin
dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak
berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan
peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan
menyenangkan.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru
bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka
dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama
dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya
model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat
jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang
berkembang, termasuk di Indonesia.
Hakikat dan Pengertian Pendidikan
Pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir
bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam
hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk
beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah
Subhanaha watta’alla dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak
dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal
pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I,
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut William F (tanpa tahun) Pendidikan harus dilihat di
dalam cakupan pengertian yang luas. Pendidikan juga bukan merupakan suatu
proses yang netral sehingga terbebas dari nilai-nilai dan Ideologi.
Kosasih Djahiri (1980 : 3) mengatakan bahwa Pendidikan
adalah merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu
(terus menerus sepanjang hayat) kearah membina manusia/anak didik menjadi insan
paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized).
Dari pengertian tersebut bahwa pendidikan merupakan upaya
yang terorganisir memiliki makna bahwa pendidikan tersebut dilakukan oleh usaha
sadar manusia dengan dasar dan tujuan yang jelas, ada tahapannya dan ada
komitmen bersama didalam proses pendidikan itu. Berencana mengandung arti bahwa
pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan suatu proses perhitungan yang
matang dan berbagai sistem pendukung yang disiapkan. Berlangsung kontinyu
artinya pendidikan itu terus menerus sepanjang hayat, selama manusia hidup
proses pendidikan itu akan tetap dibutuhkan, kecuali apabila manusia sudah mati,
tidak memerlukan lagi suatu proses pendidikan.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi
digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan
aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik :
emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan
humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia
yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan – kekurangannya dll), diperlukan
dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan
penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun
juga.
Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan ini
benar-benar akan merupakan upaya bantuan bagi anak untuk menggali dan mengembangkan
potensi diri serta dunia kehidupan dari segala liku dan seginya.
Menurut Ki Hadjar Dewantara terdapat lima asas dalam
pendidikan yaitu :
- Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat.
- Asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
- Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).
- Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain.
- Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.
Menurut Tilaar (2000 : 16) ada tiga hal yang perlu di kaji
kembali dalam pendidikan. Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya
sebagai schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka
pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari
tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu, rumusan mengenai pendidikan
dan kurikulumnya yang hanya membedakan antara pendidikan formal dan non formal
perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru
akan semakin memegang peranan penting didalam pembentukan tingkah laku manusia
dalam kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk
mengembangkan intelegensi akademik peserta didik. Pengembangan seluruh spektrum
intelegensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniyahnya perlu diberikan
kesempatan didalam program kurikulum yang luas dan fleksibel, baik didalam
pendidikan formal, non formal dan informal. Ketiga, pendidikan ternyata bukan
hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang
berbudaya dan menyadari hakikat tujuan penciptaannya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sindhunata (2000 : 14) bahwa tujuan pendidikan bukan hanya manusia
yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and Civized human being).
Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan
sebagai proses hominisasi dan humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral
dan agama, yang berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga,
masyarakat dan bangsa, kini dan masa depan.
Untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat
madani yang diridhoi Allah swt. tentunya memerlukan paradigma baru. Paradigma
lama tidak memadai lagi bahkan mungkin sudah tidak layak lagi digunakan. Suatu
masyarakat yang religius dan demokratis tentunya memerlukan berbagai praksis
pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang religius dan
demokratis pula. Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik, yang mematikan
inisiatif berfikir manusia dan jauh dari nilai-nilai moral dan agama Islam
bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma
pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang
menjawab tantangan internal dan global dengan tetap memiliki keyakinan yang
kuat terhadap Allah dan Syariatnya. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada
lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu, demokratis dan religius yang
sesuai dengan kehendaknya sebagai wujud nyata fungsi kekhalifahan manusia
dimuka bumi.
Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik
dan sekurelistik baik didalam manajemen maupun didalam penyusunan kurikulum
yang kering dari nilai-nilai moral dan agama harus diubah dan disesuaikan
kepada tuntutan pendidikan yang demokratis dan religius. Demikian pula di dalam
menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, maka proses
pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetensi didalam
kerja sama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan
kualitas. Demikian pula paradigma pendidikan baru bukanlah mematikan
kebhinekaan malahan mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu
masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan mayarakat dan
bangsa Indonesia.
Diambil dan Adaptasi dari:Tata Abdulah. 2004. Landasan dan
Prinsip Pendidikan Umum (Makalah). Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
Pendidikan Berbasis
Keunggulan Lokal
Diambil dari Depdiknas. 2008
A. Pengertian
Keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang merupakan ciri
khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi dan
komunikasi, ekologi, dan lain-lain. Sumber lain mengatakan bahwa Keunggulan
lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber
daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu
daerah (Dedidwitagama,2007). Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa Keunggulan Lokal (KL) adalah suatu proses dan realisasi peningkatan nilai
dari suatu potensi daerah sehingga menjadi produk/jasa atau karya lain yang
bernilai tinggi, bersifat unik dan memiliki keunggulan komparatif.
Keunggulan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah.
Potensi daerah adalah potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah.
Sebagai contoh potensi kota Batu Jawa Timur, memiliki potensi budi daya apel
dan pariwisata. Pemerintah dan masyarakat kota Batu dapat melakukan sejumlah
upaya dan program, agar potensi tersebut dapat diangkat menjadi keunggulan
lokal kota Batu sehingga ekonomi di wilayah kota Batu dan sekitarnya dapat
berkembang dengan baik.
Kualitas dari proses dan realisasi keunggulan lokal tersebut
sangat dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia, yang lebih dikenal dengan
istilah 7 M, yaitu Man, Money,
Machine, Material, Methode, Marketing and Management. Jika sumber daya
yang diperlukan bisa dipenuhi, maka proses dan realisasi tersebut akan
memberikan hasil yang bagus, dan demikian sebaliknya. Di samping dipengaruhi
oleh sumber daya yang tersedia, proses dan realisasi keunggulan lokal juga
harus memperhatikan kondisi pasar, para pesaing, substitusi (bahan pengganti)
dan perkembangan IPTEK, khususnya perkembangan teknologi. Proses dan realisasi
tersebut akan menghasilkan produk akhir sebagai keunggulan lokal yang mungkin
berbentuk produk (barang/jasa) dan atau budaya yang bernilai tinggi, memiliki
keunggulan komparatif, dan unik.
Dari pengertian keunggulan lokal tersebut diatas maka
Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL) di SMA adalah pendidikan/program
pembelajaran yang diselenggarakan pada SMA sesuai dengan kebutuhan daerah,
dengan memanfaatkan berbagai sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis,
budaya, historis dan potensi daerah lainnya yang bermanfaat dalam proses
pengembangan kompetensi sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik.
B. Potensi Keunggulan Lokal
Konsep pengembangan keunggulan lokal diinspirasikan dari
berbagai potensi, yaitu potensi sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia
(SDM), geografis, budaya dan historis. Uraian masing-masing sebagai berikut.
1. Potensi Sumber Daya Alam
Sumber daya alam (SDA) adalah potensi yang terkandung dalam
bumi, air, dan dirgantara yang dapat didayagunakan untuk berbagai kepentingan
hidup. Contoh bidang pertanian: padi, jagung, buah-buahan, sayur-sayuran dll.;
bidang perkebunan: karet, tebu, tembakau, sawit, coklat dll.; bidang
peternakan: unggas, kambing, sapi dll.; bidang perikanan: ikan laut, ikan air
tawar, rumput laut, tambak, dll. Contoh lain misalnya di provinsi Jawa Timur
memiliki keunggulan komparatif dan keragaman komoditas hortikultura buah-buahan
yang spesifik, dengan jumlah lokasi ribuan hektar yang hampir tersebar di
seluruh di wilayah kabupaten/kota. Keunggulan lokal ini akan lebih cepat
berkembang, jika dikaitkan dengan konsep pembangunan agropolitan (Teropong
Edisi 21, Mei-Juni 2005, h. 24). Agropolitan merupakan pendekatan pembangunan bottom-up untuk mencapai
kesejahteraan dan pemerataan pendapatan yang lebih cepat, pada suatu wilayah
atau daerah tertentu, dibanding strategi pusat pertumbuhan (growth pole).
2. Potensi Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) didefinisikan sebagai manusia
dengan segenap potensi yang dimilikinya yang dapat dimanfaatkan dan
dikembangkan untuk menjadi makhluk sosial yang adaptif dan transformatif dan
mampu mendayaguna- kan potensi alam di sekitarnya secara seimbang dan
berkesinambungan (Wikipedia, 2006). Pengertian adaptif artinya mampu menyesuaikan
diri terhadap tantangan alam, perubahan IPTEK dan perubahan sosial budaya.
Bangsa Jepang, karena biasa diguncang gempa merupakan bangsa yang unggul dalam
menghadapi gempa, sehingga cara hidup, sistem arsitektur yang dipilihnya sudah
diadaptasikan bagi risiko menghadapi gempa. Kearifan lokal (indigenous wisdom) semacam ini
agaknya juga dimiliki oleh penduduk pulau Simeulue di Aceh, saat tsunami datang
yang ditandai dengan penurunan secara tajam dan mendadak muka air laut, banyak
ikan bergelimpangan menggelepar, mereka tidak turun terlena mencari ikan, namun
justru terbirit-birit lari ke tempat yang lebih tinggi, sehingga selamat dari
murka tsunami. Pengertian
transformatif artinya mampu memahami, menerjemahkan dan mengembangkan seluruh
pengalaman dari kontak sosialnya dan kontaknya dengan fenomena alam, bagi
kemaslahatan dirinya di masa depan, sehingga yang bersangkutan merupakan
makhluk sosial yang berkembang berkesinambungan.
SDM merupakan penentu semua potensi keunggulan lokal. SDM
sebagai sumber daya, bisa bermakna positif dan negatif, tergantung kepada
paradigma, kultur dan etos kerja.Dengan kata lain tidak ada realisasi dan
implementasi konsep keunggulan lokal tanpa melibatkan dan memposisikan manusia
dalam proses pencapaian keunggulan. SDM dapat mempengaruhi kualitas dan
kuantitas SDA, mencirikan identitas budaya, mewarnai sebaran geografis, dan
dapat berpengaruh secara timbal balik kepada kondisi geologi, hidrologi dan
klimatologi setempat akibat pilihan aktivitasnya, serta memiliki latar sejarah
tertentu yang khas. Pada masa awal peradaban, saat manusia masih amat
tergantung kepada alam, ketergantungannya yang besar terhadap air telah
menyebabkan munculnya peradaban pertama di sekitar aliran sungai besar yang
subur.
3. Potensi Geografis
Objek geografi antara lain meliputi, objek formal dan objek
material. Objek formal geografi adalah fenomena geosfer yang terdiri dari,
atmosfer bumi, cuaca dan iklim, litosfer, hidrosfer, biosfer (lapisan kehidupan
fauna dan flora), dan antroposfer (lapisan manusia yang merupakan tema
sentral). Sidney dan Mulkerne (Tim Geografi Jakarta, 2004) mengemukakan bahwa
geografi adalah ilmu tentang bumi dan kehidupan yang ada di atasnya. Pendekatan
studi geografi bersifat khas. Pengkajian keunggulan lokal dari aspek geografi
dengan demikian perlu memperhatikan pendekatan studi geografi. Pendekatan itu
meliputi; (1) pendekatan keruangan (spatial
approach), (2) pendekatan lingkungan (ecological approach) dan (3) pendekatan kompleks wilayah (integrated approach). Pendekatan
keruangan mencoba mengkaji adanya perbedaan tempat melalui penggambaran letak
distribusi, relasi dan inter-relasinya. Pendekatan lingkungan berdasarkan
interaksi organisme dengan lingkungannya, sedangkan pendekatan kompleks wilayah
memadukan kedua pendekatan tersebut.
Tentu saja tidak semua objek dan fenomena geografi berkait
dengan konsep keunggulan lokal, karena keunggulan lokal dicirikan oleh nilai
guna fenomena geografis bagi kehidupan dan penghidupan yang memiliki, dampak
ekonomis dan pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Contoh
tentang angina fohn yang
merupakan bagian dari iklim dan cuaca sebagai fenomena geografis di atmosfer. Angin fohn adalah angin jatuh yang
sifatnya panas dan kering. terjadi karena udara yang mengandung uap air
gerakannya terhalang oleh gunung atau pegunungan. Contoh angin fohn di Indonesia adalah angin
Kumbang di wilayah Cirebon dan Tegal karena pengaruh Gunung Slamet, angin
Gending di wilayah Probolinggo yang terjadi karena pengaruh gunung Lamongan dan
pegunungan Tengger, angin Bohorok di daerah Deli, Sumatera Utara karena
pengaruh pegunungan Bukit Barisan.
eperti diketahui angin semacam itu menciptakan keunggulan
lokal Sumber Daya Alam, yang umumnya berupa tanaman tembakau, bahkan tembakau
Deli berkualitas prima dan disukai sebagai bahan rokok cerutu. Semboyan Kota
Probolinggo sebagai kota Bayuangga (bayu = angin, anggur dan mangga) sebagai
proklamasi keunggulan lokal tidak lepas dari dampak positif angin Gending.
4. Potensi Budaya
Budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap adalah
kebudayaan. Agar kebudayaan dilandasi dengan sikap baik, masyarakat perlu
memadukan antara idealisme dengan realisme yang pada hakekatnya merupakan
perpaduan antara seni dan budaya. Ciri khas budaya masing-masing daerah
tertentu (yang berbeda dengan daerah lain) merupakan sikap menghargai
kebudayaan daerah sehingga menjadi keunggulan lokal. Beberapa contoh keunggulan
lokal menghargai kebudayaan setempat yaitu upacara Ngaben di Bali, Malam Bainai
di Sumatera Barat, Sekatenan di Yogyakarta dan Solo dan upacara adat perkawinan
di berbagai daerah.
Sebagai ilustrasi dari keunggulan lokal yang diinspirasi
oleh budaya, misalnya di Kabupaten Jombang Jawa Timur, telah dikenal antara
lain:
- Teater “Tombo Ati” (Ainun Najib)
- Musik Albanjari (Hadrah)
- Kesenian Ludruk Besutan
- Ritualisasi Wisuda Sinden (Sendang Beji)
5. Potensi Historis
Keunggulan lokal dalam konsep historis merupakan potensi
sejarah dalam bentuk peninggalan benda-benda purbakala maupun tradisi yang
masih dilestarikan hingga saat ini. Konsep historis jika dioptimalkan
pengelolaannya akan menjadi tujuan wisata yang bisa menjadi asset, bahkan
menjadi keunggulan lokal dari suatu daerah tertentu. Pada potensi ini,
diperlukan akulturasi terhadap nilai-nilai tradisional dengan memberi kultural
baru agar terjadi perpaduan antara kepentingan tradisional dan kepentingan
modern, sehingga aset atau potensi sejarah bisa menjadi aset/potensi keunggulan
lokal.
Salah satu contoh keunggulan lokal yang diinspirasi oleh
potensi sejarah, adalah tentang kebesaran “Kerajaan Majapahit”, antara lain :
Pemerintah Kabupaten Mojokerto secara rutin menyelenggarakan Perkawinan ala
Majapahit sebagai acara resmi yang disosilaisasikan kepada masyarakat;
- Pada bulan Desember 2002, diadakan Renungan Suci Sumpah Palapa di makam Raden Sriwijaya (Desa Bejijong, Trowulan, Kab. (Mojokerto) yang dihadiri Presiden RI K.H Abdurachman Wachid;
- Festival Budaya Majapahit yang diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan dan Filsafat Javanologi dan Badan Kerjasama Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BKOK) bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Dinas P & K Kabupaten Mojokerto ( 27 Maret 2003).
Tentang Pendidikan Karakter
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan
mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi
sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas
bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)
harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal
tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu
bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim
Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard
skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh
soft skill. Bahkan orang-orang
tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan
bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
(stakeholders) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan
atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan
ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan
di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi
acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan
penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan
baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan
dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada
tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan
internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu
pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter
untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan
konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap
jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional
development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan
dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas
pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan
memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang
sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan
di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya
(70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika
dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya
sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan
keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian
kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas
kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam
mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar,
dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap
perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter
terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal
lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu
belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil
belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata
pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai
pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan
konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai
karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari
di masyarakat.
Kegiatan
ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu
media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik
peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar
mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan
dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan
prestasi peserta didik.
Pendidikan
karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan
sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah
secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang
perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan
tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen
sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di
sekolah.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter
seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif,
penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara
nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera
dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya
secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter
diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi
nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku
sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah
pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua
warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri
khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah,
meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah
menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil
melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh
untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia,
kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang
baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas,
pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui
melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam
Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
- Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
- Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
- Menunjukkan sikap percaya diri;
- Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
- Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
- Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
- Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
- Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
- Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
- Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
- Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
- Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
- Menghargai karya seni dan budaya nasional;
- Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
- Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
- Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
- Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
- Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
- Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
- Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
- Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan
karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan
keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan
masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
Untuk melihat kajian toeritis tentang Urgensi
Pendidikan Karakter bisa dilihat DISINI
Contoh ilustrasi langkah-langkah penerapan pendidikan
karakter dalam pembelajaran dapat dilihat DISINI
Sumber:
Kemendiknas. 2010. Pembinaan
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama . Jakarta
Konsep Pendidikan Umum
A. Konsep
Menurut SK
Dirjen Dikti No. 32/DJ/Kep/1983 disebutkan bahwa komponen dasar umum dalam hal
ini komponen mata kuliah dasar umum (pendidikan umum) diarahkan untuk
melengkapi pembentukan kepribadian bidang dengan pengembangan kehidupan pribadi
yang memuaskan, keanggotan keluarga yang bahagia, dan kewargaan masyarakat yang
produktif serta kewargaan Negara yang bertanggung jawab.
Dalam buku pedoman SPTK (Sistem Pendidikan Tenaga
Kependidikan) dikatakan bahwa komponen dasar umum diarahkan kepada pembentukan
warga Negara pada umumnya, dengan kompetensi, kompetensi personal, sosial serta
kultural, yang seyogyanya merupakan ciri khas bagi warga negara yang
berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Dalam SK Mendiknas No.008-E/U/1975
disebutkan bahwa Pendidikan Umum ialah pendidikan yang bersifat umum, yang
wajib diikuti oleh semua siswa dan mencakup program Pendidikan Moral Pancasila
yang berfungsi bagi pembinaan warga negara yang baik. Sikun Pribadi (1981: 11)
Pendidikan Umum itu mempunyai tujuan; (a) membiasakan siswa berpikir obyektif,
kritis, dan terbuka, (b) memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai
hidup, seperti kebenaran, keindahan, kebaikan; (c) menjadi manusia yang sadar
akan dirinya, sebagai makhluk, sebagai manusia, dan sebagai pria dan wanita,
dan sebagai warga negara; (d) mampu menghadapi tugasnya, bukan saja karena
menguasai bidang profesinya, tetapi karena mampu mengadakan bimbingan dan
hubungan sosial yang baik dalam lingkungannya. Philiph H. Phenix mengatakan
bahwa “General Education Should Develop in Evergone” , bahwa Pendidikan Umum
wajib dikembangkan pada diri tiap orang, dan pendidikan umum berarti umum untuk
tiap orang. Selanjutnya “General Education is the Pracis of Engendering
Esential Meaning”, bahwa Pendidikan Umum merupakan proses membina makna-makna
yang esensial karena hakekat manusia adalah mahluk yang memiliki kemampuan
untuk mempelajari dan menghayati makna yang esensial. Makna yang esensial
sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Kemudian “to lead to fulfillment of human live through
the enlangement and deeping of meaning”, jadi membimbing pemenuhan
kehidupan manusia melalui perluasan dan pendalaman makna yang menjamin
kehidupan, pendidikan yang bermakna kehidupan manusiawi. Selanjutnya “ a complete person should be skilled in setu
of Speach Symbol and gesture, factually well in formed, capable of treating and
apprecinting object of esthetic significance, endowed with rith and dissipeined
life in relation to self and athers, able to make wise decition an to judge
batween right and wrong, and possessed of an integral out look”. Dengan
demikian pendidikan umum membina pribadi yang utuh, terampil berbicara,
menggunakan lambang dan isyarat yang secara factual di informasikan dengan
baik, mampu berkreasi dan menghargai hal-hal yang secara meyakinkan estetika,
ditunjang oleh kehidupan yang berharga dan penuh disiplin dalam hubungan pribadi
dan pihak lain memiliki kemampuan membuat keputusan yang bijaksana dan memiliki
yang benar dari yang salah, serta memiliki wawasan yang integral (memiliki
kemampuan dan wawasan luas tentang kehidupan). Selanjutnya “Six Fundamental Pattern of Meaning” :
- Symbolics (languade, mathematics, ritual, gestures).
- Empirics (Science of physical world, of living thing of man).
- Esthetics (arts, music, literaturs)
- Symatics (personal knowledge relational in sight, direct awarness, feeling)
- Ethics (moral meaning to responsibility professional action, personal conduct an responsibility in decision marking).
- Synoptics ( comprehensive integrative meaning to history, relagion philosophy).
Makna-makna Program Pendidikan Umum berkaitan dengan
pola-pola (patern) pada materi pokok instruksionalnya, pola-pola yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
1. Pola simbolik
Dengan pola ini siswa dimbimbing untuk nantinya dapat
memiliki kemampuan dalam berbahasa, membaca angka-angka, mengenal tanda-tanda
hitung dan dapat menggunakan simbol-simbol untuk mengekspresikan makna-makna
yang terstruktur. Pola ini dapat dicapai dengan menganjarkan pelajaran bahasa
dan matematika.
2. Pola empirik
Dengan pola ini siswa dibimbing untuk nantinya dapat
memiliki kemampuan dalam mendiskripsikan fakta-fakta empiris, membuat
generalisasi atau formulasi teoritis tentang gejala – gejala alam, sosial dan
jiwa manusia. Pola ini dapat dipenuhi dengan mengajarkan fisika, ilmu hayat
atau biologi, psikologi dan juga ilmu-ilmu sosial.
3. Pola Estetik
Dengan pola estetik ini siswa dibimbing untuk nantinya
memiliki kemampuan berapresiasi dan berkreasi. Dengan demikian siswa mampu
mengapresiasi berbagai objek visual yang mengandung nilai-nilai estetik dalam
lingkungan kehidupannya, serta mampu berkreasi dengan memenuhi syarat-syarat
estetika yang telah didalaminya. Untuk dapat mencapai tujuan dengan
diterapkannya pola ini kepada siswa diajarkan tentang pengajaran seni (musik,
drama, lukis, dan visual), kesusastraan dan juga filsafat.
4. Pola Synoetik
Dengan melalui pola ini siswa dibimbing untuk nantinya dapat
memiliki kemampuan memandang dan menyadari keberadaan nilai-nilai secara
langsung dalam arti dapat merasakan dan menyadarinya bahwa keberadaan dirinya
diberi arti oleh keberadaan orang lain dilingkungannya, sehingga anak mampu
menghayati tentang keberadaan hidup bersama dalam masyarakat. Pola ini dapat
dipenuhi dengan mengajarkan filsafat, kesenian, pendidikan agama, dan ilmu
sosial.
5. Pola Etika
Dengan pola Etika siswa dibimbing untuk nantinya memiliki
kemampuan tentang moralitas, sehingga dalam hidupnya senatiasa bertindak dengan
memperhatikan pertimbangan nilai, norma, etika, sopan-santun dan hukum positif
yang ada dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Hal itu akan menjadikan pola
fikir, sikap dan tindakannya bersifat etis. Pola etik dapat dipenuhi dengan
memberikan etika, moral, filsafat dan Agama.
6. Pola Synoptik
Pola ini menetapkan atau menentukan terbentuknya kemampuan
dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan nilai-nilai baik dan buruk
pada persoalan yang dihadapinya. Dalam pola ini termasuk kemampuan meyakini dan
mengimani sesuatu pandangan hidup. Pola ini dapat dicapai dengan memberikan
pangajaran Agama, moral, sejarah kebudayaan dan juga filsafat.
B. Ruang Lingkup
Seminar Pendidikan Umum yang dilaksanakan pada tanggal 14 –
15 Desember 1998, dengan Tema ”Pencarian Body of Knowledge Pendidikan Umum”
merupakan suatu upaya untuk mempertegas kembali pentingnya Pendidikan Umum
dalam proses pendidikan pada umumnya dalam konteks : (1) Pendidikan Nilai; (2)
Pendidikan Kepribadian; (3) Program Studi ; (4) Mata Pelajaran MKDU; (5)
Pengembangan Kepribadian Utuh; (6) Warga Negara yang Baik; dan (7) Pengembangan
Sikap Ilmiah Dari gagasan yang muncul dalam seminar dirumuskan sebagai berikut
:
- Dalam memahami Pendidikan Umum, yang pertama kali harus dibedakan adalah : pada konteks pendidikan umum manakah kita akan memahaminya. Cara memilah pendidikan umum dapat dilakukan kedalam tiga kategori, yaitu: (a) Pendidikan umum sebagai Ilmu; (b) Pendidikan umum sebagai program pendidikan (MKDU); dan (c) Pendidikan umum sebagai program studi, seperti di PPS UPI. Dari ketiga dimensi pendidikan umum dapat dikaji visi atau makna, misi dan tujuan, prinsip, struktur, isi atau muatan kurikulum dan pendekatan yang digunakan
- Pendidikan umum sebagai ilmu, program pendidikan dan program studi meliputi dua bidang kajian inti yang membedakannya, dari bidang kajian ini, yaitu : (1) Pendidikan nilai dan (2) pendidikan kepribadian.
- Memahami Pendidikan Umum sebagai Program pendidikan dan Program Studi dapat dilakukan dengan cara merinci tujuan, materi, metode, dan evaluasi pendidikan yang dikembangkan menjadi suatu sistem terpadu, baik dari sudut pandang agama maupun budaya. Dalam pengertian seperti itu, Pendidikan Umum harus sampai pada wilayah aksi atau tindakan yang memberi makna besar bagi peserta didik.
- Memahami Pendidikan Umum dapat dimulai dari pengkajian definisi yang positif tentang Pendidikan Umum, yang kemudian dapat dikomparasikan antara satu dengan yang lainnya. Langkah berikutnya adalah menjabarkan definisi tersebut kedalam definisi operasional yang lebih memberikan kejelasan dan batasan tertentu tentang Pendidikan Umum. Proses derivasi definisi kedalam definisi operasional, sangat berguna dalam upaya penelitian tentang Pendidikan Umum, sehingga tekanan penelitian dapat berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya dan tetap berada dalam koridor garapan Pendidikan Umum.
- secara historis, awal pendirian Program Studi Pendidikan Umum, di PPS IKIP sebenarnya sederhana, yaitu untuk menyiapkan dosen-dosen MKDU di Perguruan Tinggi. Dosen-dosen yang dipanggil bermacam-mcam keahliannya; ada ekonom, ahli agama, budayawan, sehingga berkembang kemudian disusun matakuliah yang terkesan ”aneh” seperti Ekonomi dan Pendidikan Umum Pancasila dalam Pendidikan Umum, IPA dalam Pendidikan Umum, dan Agama dalam Pendidikan Umum. Satu tahun lamanya tidak pernah ada yang menghiraukan matakuliah Agama dalam Pendidikan Umum, tetapi setelah itu dihilangkan dan diganti dengan matakuliah Nilai-nilai Agama sebagai Landasan Pendidikan Umum (diajarkan di S.3).
- Menurut sudut pandang Islam tujuan pendidikan umum itu mencakup tiga tujuan mulia, yaitu untuk mencapai manusia memiliki karakterisktik : (a) Hilmun, yaitu kesanggupan atau kemampuan untuk menolak argumentasi orang bodoh dengan bahasa yang santun; (b) Woro’, yaitu tidak rakus, rendah hati, yang mampu membentangi dirinya dari perbuatan maksiat; (c) Husnul khuluq, yakni berakhlaq baik sehingga ia bisa hidup di antara manusia.
- Adalah suatu keharusan bagi para ilmuwan Pendidikan Umum untuk memahami gejolak nilai yang terjadi dalam kehidupan. Mereka tidak boleh hanyut dalam pergumulan nilai (war of values). Mereka harus mampu menempatkan diri untuk ikut menata, membina, mengembangkan dan ikut mengendalikan nilai-nilai baik yang berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, keahlian yang paling utama dan terpenting bagi ahli Pendidikan Umum adalah memahami dan mampu mengemban misi dalam mengembangkan kepribadian utuh dengan cara memupuk qolbu agar peserta didik memiliki keteguhan hati.
- Perumusan batang tubuh pendidikan umum dapat dilakukan dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda antara penggagas yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya dapat dilakukan melalui :
- Pencarian proses dan karakteristik pendidikan umum secara random, sementara ini dirumuskan dalam tujuh karakteristik pendidikan umum : (1) ide vital pendidikan umum adalah learning termasuk pada agama; (2) kognitif, afektif dan psikomotorik, (3) penerapan ilmu pendidikan dan psikologi dalam bidang studi; (4) Pendidikan umum cenderung melakukan integrated knowledge system yang sama dengan pengorganisasian trans. Disiplin; (5) Pendidikan umum sebagai problem solving lintas disiplin, dan (7) Pendidikan umum harus bisa membuat streotype berfikir dalam beberapa disiplin ilmu dan harus confident (percaya diri).
- Melalui ilustrasi pohon pendidikan umum. Cara berikutnya adalah melalui ilustrasi pohon pendidikan umum, yang memuat dan memposisikan ilmu pada kedudukannya dalam Pendidikan Umum. Cara ini tentu saja tidak dapat dilakukan apabila tidak dibekali dengan pemahaman yang luas tentang kedalam kajian disiplin-disiplin ilmu. Salah satu gambaran body of knowledge Pendidikan Umum menurut cara ini, dapat disimak dalam ilustrasi ”pohon” Pendidikan Umum sebagai berikut :
Gambar 2 Pohon Pendidikan Umum
- Melalui suatu pengkajian dengan menggunakan kerangka filosofis yang memuat tiga konsep utama yaitu : metafisika, epitemologi dan aksiologi. Metafisika berkenaan dengan antropologi, kosmologi dan ontologi. Pada konsep tersebut, harus ditemukan apa obyek materia dan oyek forma Pendidikan Umum. Epistemologi berkenaan dengan bagaimana cara menimba pengetahuan dalam Pendidikan Umum, prosesnya, dan faktor pendukungnya, agar memperoleh pengetahuan tentang Pendidikan Umum yang benar dan menemukan tentang hakikat kebenaran dan kriterianya. Aksiologi berkenaan dengan menemukan kegunaan ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Umum, hubungan antara sistem penggunaannya dengan norma dan moral, serta hubungan antara teknik operasinal metode ilmiah Pendidikan Umum dengan norma profesional. Dari perspektif tersebut Pendidikan Umum dapat dikaji dan diisi sehingga ”bentuk” body of knowledge-nya dapat dirumuskan.
- Melalui proses rekonstruksi Pendidikan Umum berdasarkan ”ciri-ciri disiplin ilmu”, sehingga dapat ditemukan ilmu pendidikan dari Pendidikan Umum (Educology of General Education),dan struktur formal disiplin Pendidikan Umum diantara disiplin ilmu lainnya. Melalui cara ini, kajian tentang batang tubuh Pendidikan Umum dapat sampai pada suatu pengkajian tentang muatan dan alur Pendidikan Umum sebagai disiplin ilmu. Model pendekatan yang ditawarkan, dapat dilihat dalam makalah-makalah pada bab tentang Pendidikan Umum sebagai Ilmu
C. Sasaran Pendidikan Umum
Sebagaimana telah kita pahami bahwa pengembangan manusia
seutuhnya telah menjadi tujuan pendidikan nasional, dan mungkin saja telah
menjadi tujuan pendidikan nasional di berbagai negara. Tetapi pada kenyataannya
kita sering kurang jelas atau kesulitan menemukan gambaran manusia seutuhnya,
dan akan lebih sulit lagi ketika harus merumuskan bagaimana mengembangkan
manusia yang utuh, terintegrasi, selaras, serasi dan seimbang dari berbagai
aspek dan potensi yang dimiliki manusia. Menurut Manfur (1999 ; 62) secara
garis besar sasaran Pendidikan Umum adalah semua manusia dalam berbagai usia,
keberadaan, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan dalam status apapun. Yang
dimaksud dengan semua manusia dalam berbagai usia adalah secara keseluruhan
manusia dari mulai anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Tentunya kita sadar
bahwa proses pendidikan yang ada di Indonesia adalah proses pendidikan
sepanjang hayat, mengandung arti bahwa setiap individu memiliki hak yang sama
untuk mendapatkan pendidikan selama dia hidup di dunia ini, akan tetapi yang
dimaksud dengan sasaran pendidikan yang mencakup semua manusia dalam berbagai
usia disini adalah tentang perilaku kehidupannya secara umum. Bagaimana
anak-anak hidup dalam kehidupannya sendiri yang dilandasi oleh nilai – moral –
norma yang dia miliki pada waktu atau masa kanak-kanaknya. Kemudian kehidupan
manusia remaja yang tentunya memiliki kehidupan tersendiri dalam dunianya yang
senantiasa itu semua harus memiliki makna hidup yang sesuai dengan nilai –
moral – norma masyarakat yang berlaku. Demikian halnya usia dewasa dan orang
tua dalam kehidupannya harus memiliki tatanan yang jelas tentang dasar
kehidupannya sebagai orang yang dituakan, yang harus memberikan suri tauladan
bagi anak-anaknya dan generasi lainnya. Secara nilai – moral – norma orang
dewasa dan orang tua akan lebih mapan dalam hidup dan penghidupannya.
Keberadaan sebagai salah satu sasaran dari Pendidikan Umum diartikan sebagai
status sosial masyarakat yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, bagaimana
nilai – moral – norma yang nampak pada kehidupan manusia yang menjadi pegawai
negeri,pejabat pemerintah, guru, buruh tentara, polisi, petani, pedagang dan
lain sebagainya. Perbedaan itu seolah-olah akan menjadi suatu tingkatan yang
menentukan terhadap perilaku kehidupan dari nilai – moral – norma yang
dimilikinya. Tingkat pendidikan merupakan sasaran Pendidikan Umum karena ada
kesan bahwa dengan tingkat pendidikan rendah maka nilai – moral – norma yang
dimiliki terkesan akan rendah juga, dan sebaliknya apabila tingkat pendidikannya
tinggi maka nilai – moral – norma yang dimilikinya pun akan tinggi. Hal ini
mungkin ada benarnya juga dan mungkin ada salahnya juga karena masalah
pemahaman dan pelaksanaan nilai – moral – norma dalam kehidupan manusia tidak
sepenuhnya ditentukan atau dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Jenis kelamin
sebagai sasaran Pendidikan Umum perlu kembali pemahamannya kepada kodrat Illahi
bahwa laki-laki secara fisik dibekali oleh keberanian dan kekuatan dalam
perjuangan hidupnya didunia ini, wanita sebagai mahluk yang halus, indah dan
lemah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga wajar apabila laki-laki merupakan
tempat berlindungnya wanita dalam kehidupannya. Penempatan nilai-moral, norma
dalam kehidupan wanita dan laki-laki ada penempatan-penempatan khusus atau
sifat-sifat yang dilakukan laki-laki belum tentu secara nilai-moral-norma dapat
atau pantas dilakukan oleh wanita. Sasaran Pendidikan Umum tentunya sangat luas
sekali, seperti yang dibutuhkan oleh Maufur dalam kalimat terakhirnya ”dan
dalam status apaun”, ini mengandung arti bahwa nilai-moral-norma dalam
kehidupan manusia tidak terbatas, karena berlaku dalam seluruh segi hidup dan
penghidupan manusia.
D. Fungsi, Kedudukan, Peranan dan Prospek Pendidikan Umum
1. Fungsi Pendidikan Umum
Dalam undang-undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Bab II Pasal
3 dikatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menyimak pasal 3 diatas bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak,
menggambarkan bahwa yang harus dikembangkan dalam diri peserta didik adalah
potensi-potensi yang dimilikinya, bukan berarti menjejali dengan ilmu
pengetahuan semata tanpa mempertimbangkan potensi-potensinya dalam hidup dan
penghidupan selaku manusia yang mempunyai keinginan, nafsu, akal dan naluri
kemanusiannya. Selanjutnya dikatakan disitu ”dan membentuk watak”, hal ini
mengandung arti bahwa pendidikan yang dilakukan dapat membentuk watak, sikap,
karakter individu yang berada pada lingkungan masyarakatnya, yang cenderung
bersifat positif dan tidak bertentangan tatanan tabiat, watak, karakter manusia
lainnya. Kemudian dikatakan ”serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Peradaban bangsa yang bermartabat dengan kata
lain suatu peradaban yang memili nilai-nilai luhur suatu bangsa yang sarat
degan nilai-moral-norma bangsanya sendiri. Peradaban suatu bangsa akan diwarnai
oleh kemajuan Pendidikan dan teknologinya, bagaimana pola hidup orang-orang
yang sudah maju dalam pendidikannya, bagaimana pola hidup manusia yang sudah
modern sebagai pembentukan dari kemajuan teknologi, semua itu semakin banyak
mewarnai budaya suatu bangsa yang menjamaninya. Oleh karena itu peradaban
bangsa yang bermartabat cenderung menitikberatkan pada dasar ideologi suatu
bangsa itu, dan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang dimaksud dengan bangsa
yang bermartabat adalah bangsa yang meletakan ideologi hidupnya adalah nilai-moral-norma
Agama Islam sebagai sumber nilai-moral-norma yang mutlak sifatnya bagi seorang
muslim yang baik. Selanjutnya dikatakan ”dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa” Mencerdaskan kehidupan bangsa disini memiliki arti tarap pendidikan
rakyat pada umumnya sudah seimbang antara jumlah penduduk dengan tingkat
rata-rata pendidikan penduduk yang ada, seperti halnya pencanangan wajib
belajar sembilan tahun dengan harapan ideal pemerintah, tidak ada lagi yang
buta hurup dan buta aksara pada tatanan penduduk bangsa Indonesia ini.
2. Kedudukan Pendidikan Umum
Dalam undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI pasal
15 dikatakan bahwa jenis pendidikan mencakup Pendidikan Umum, Kejuruan,
Akademik, Profesi, Vakasi, Keagamaan, dan Khusus. Dalam penjelasannya dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Umum merupakan pendidikan dasar dan
menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta
didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan
uraian tersebut diatas sama sekali tidak ada hubungannya Pendidikan Umum
tersebut dengan nilai-moral-norma yang melandasi konsep hidup manusia dalam
penghidupannya, karena jelas sekali pengertian Pendidikan Umum disini sebagai
dasar pendidikan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Akan
tetapi apabila meninjau kembali isi Bab II, pasal 3 dalam undang-undang
Sisdiknas No.20 tahun 2003 bahwa pendidikan nasional ”Bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Apabila pengertian Pendidikan Umum diidentikan dengan pendidikan
nilai-moral-norma, maka kedudukan pendidikan umum ada pada tujuan pendidikan
nasional yaitu bagaimana membentuk peserta didik yang berahlak mulia dan
bertanggung jawab. Seorang peserta didik yang berahlak mulia tentunya sangat
syarat dengan nilai-moral-norma dalam kehidupannya. Imam Al Ghozali (Kosasih
Djahiri, 1996 : 22) mengatakan keberadaan nilai moral ini dalam ”lubuk hati”
(Al – Qolbun) serta menyatu/bersatu raga didalamnya menjadi ”suara dan mata
hati” atau hati nurani. Selanjutnya Kosasih Djahiri (1996 : 23) menyederhanakan
pengertian nilai adalah ”sesuatu yang berharga baik menurut standar logika
(benar – salah), estetika (bagus – buruk), etika (adil/layak – tidak adil/tidak
layak), Agama (dosa – haram – halal), dan hukum (sah – tidak sah), serta
menjadi acuan dan atau sistem keyakinan diri maupun kehidupan”. Kemudian
digambarkan hidup suatu dimensi dan isi nilai-moral-norma pada gambar-3 dibawah
ini :
Gambar 3 Gambaran Dimensi dan Isi Nilai – Moral – Norma
Keterangan Singkat :
- Nilai/value (yang selalu terkait dengan konsep) dapat muncul dari (bersumber pada) salah satu atau beberapa landasan (base) diatas atau mungkin pula dari ketiga-tiganya. ”Bahagia” misalnya, landasannya bisa dari logika, etika atau estetika. Dan tentunya makna dan isi pesan bahagia dari ketiga landasan tersebut akan berbeda walaupun ada unsur kesamaannya.
- Dikaji dari berbagai sudut pandang atau norma atau isi pesan berbagai jenis norma yang ada/berlaku, makna dan peran ”bahagia” ini juga akan berbeda. Nilai Dasar (Objective/ideal/Universal – Value) bahagia secara agamis tidak akan pernah berubah, namun secara subjektif/instrumental akan mengikuti gerak laju manusia/masyarakat, waktu dan tempat.
Penjelasan PP No. 28 Tahun. 1990, Bab I Pasal 1 dan Bab II
pasal 3 ; Dalam program Pendidikan Umum harus mengutamakan : Memperkuat dasar
keimanan dan ketaqwaan, membiasakan berperilaku yang baik, memberikan
pengetahuan dan keterampilan dasar, memelihara kesehatan jasmani dan rohani,
memberikan kemampuan untuk belajar, membentuk kepribadian yang mantap dan
mandiri, memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat, menumbuhkan rasa
bertanggung jawab dalam lingkungan hidup, memberikan pengetahuan dan
keterampilan dasar, yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan
bermasyarakat. Pengembangan perhatian dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban
sebagai warga negara Republik Indoneisa, menanamkan rasa bertanggung jawab
terhadap kemajuan bangsa dan negara, memberikan pengetahuan dan ketarampilan
dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
meningkatkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, meningkatkan
kesadaran tentang hak asasi manusia, memberikan pengertian tentang ketertiban
dunia, meningkatkan kesadaran pentingnya persahabatan antar bangsa. Menurut SK.
Mendikbud No.008 E/V/1975, tentang pembaharuan kurikulum Sekolah Menengah Umum
Tingkat Atas di temui rumusan : ”Pendidikan Umum ialah pendidikan yang bersifat
umum, yang wajib di ikuti oleh semua siswa dan mencakup pendidikan moral
pancasila (PMP) yang berfungsi sebagai pembinaan warga negara yang baik”.
Apabila dikaitkan SK diatas dengan pasal 39 ayat (2) UU SPW, berarti pedidikan
agama dan pendidikan pancasila merupakan pendidikan umum baik materi kurikulum
maupun isi program.
E. Peranan Pendidikan Umum
Berbicara tentang peranan Pendidikan Umum adalah berbicara
tentang tugas yang diemban oleh Pendidikan Umum atau peran Pendidikan Umum
terhadap bidang-bidang lain atau nbpendidikan-pendidikan pada umumnya. Seperti
apa yang dikatakan oleh Rochman Natawidjaya (Seminar Cakrawala Pendidikan Umum
; 1998 ; 10) bahwa didalam mencapai konstruksi Pendidikan Umum dan upaya
pencapaian tujuan (in search of general education construct and the attainment
of its objectives), maka perlu dipahami dulu tentang :
- Pendidikan Umum sebagai Ilmu
- Pendidikan Umum sebagai Jenis Pendidikan
- Pendidikan Umum sebagai Program Pendidikan
- Pendidikan Umum sebagai Program Studi
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka nampak jelas bahwa
keempat unsur tersebut perlu dipahami terlebih dahulu, setelah paham akan jelas
peranan Pendidikan Umum sebagai ilmu, jenis pendidikan, program pendidikan dan
program studi. Selanjutnya Nursid Sumaatmadja (Seminar Cakrawala Pendidikan
Umum ; 1998 ; 18) mengatakan “Pendidikan Umum yang syarat dengan akhlak mulia,
kecerdasan, keterampilan, keahlian, kepemimpinan bisa mendasari pendidikan
keterampilan dan pendidikan akademik”. Kemudian dikatakan pada bagian
selanjutnya ” Pendidikan Umum mencakup juga pendidikan kejuruan yang bertujuan
untuk menghasilkan ahli yang memili keterampilan dalam bidang tertentu”. Dalam
penegrtian ini, seorang ahli yang dihasilkan dari pendidikan kejuruan harus
dilandasi oleh akhlak, sehingga keahliannya itu secara fungsional memiliki
banyak manfaat bagi kehidupannya baik dalam pemenuhan kesejahteraan maupun
kebahagiaan. Yang paling penting dilakukan oleh para ahli pendidikan umum
adalah bagaimana menanamkan ”jati diri” bangsa Indonesia tetap mengutamakan
aspek Ke-Tuhanan sebagaimana yang tercantum dalam sila I. Namun demikian,
karena dimensi Pendidikan Umum itu sangat luas, maka potensi diri manusia yang
terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik harus dikembangkan secara
serasi dan seimbang.
F. Prospek Pendidikan Umum
Bunyamin Maftuh (Seminar Pendidikan Umum ; 1998 ; 120)
mengatakan “Pendidikan Umum bukanlah program atau mata pelajaran pilihan yang
dapat dipilih sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakat siswa ; Pendidikan Umum
memberikan pendidikan yang general, dalam sikap, nilai, moral, pengetahuan, dan
keterampilan, bukan untuk membinan spesialisasi akademis atau vakasional
terntu”. Dalam bahasan selanjutnya dikatakan bahwa ” Pendidikan Umum di
Indonesia merupakan pendidikan yang harmonis yang mengembangkan aspek kognitif
(pengetahuan, pengertian, pemahaman, dsb), aspek afektif (nilai, moral, sikap dsb),
dan psikomotor (keterampilan), namun dengan penekanan yang lebih besar pada
aspek afektif. Hal ini sejalan dengan tujuan umum dari Pendidikan Umum, yaitu
membina warga negara Indonesia yang memiliki kepribadian yang baik, terpadu dan
terdidik, yang secara singkat disebut manusia Indonesia seutuhnya”. Berdasarkan
uraian di atas bahwa prospek Pendidikan Umum dilihat dari sudut keilmuannya
sangat diperlukan sekali peluangnya dalam membentuk manusia Indonesia
seutuhnya. Namun tentunya prospek Pendidikan Umum ini tidak bisa lepas dari
empat bagian Pendidikan Umum menurut Rochman Natawidjaya (Seminar Indoensia ;
1998 ; 10) bahwa perlu dipahami mengenai : 1) Pendidikan Umum sebagai ilmu ; 2)
Pendidikan Umum sebnagai jenis pendidikan; 3) Pendidikan Umum sebagai program
pendidikan ; 4) Pendidikan Umum sebagai program studi. Dengan demikian prospek
Pendidikan Umum ini tidak lepas dari apa yang disampaikan oleh Rochman
Natawidjaya mengenai ke empat pemahaman tersebut. Semua itu adalah tantangan
Pendidikan Umum yang sekaligus menjadi prospek bagi keberadaan Pendidikan Umum.
G. Landasan Filosofis Pendidikan Umum
Menurut Endang Saifuddin (1987 ; 96) terdapat banyak
aliran-aliran penting dalam etika, minimal ada enam aliran :
- Aliran Etika Naturalisme ialah aliran yang beranggapan bahwa kebahagian manusia itu didapatkan dengan menurutkan panggilan natura (fitrah) kejadian manusia itu sendiri.
- Aliran Etika Hedonisme ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan).
- Aliran Etika Utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi manusia (utility : manfaat).
- Aliran Etika idealisme ialah aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.
- aliran Etika Vitalisme ialah yang menilai baik buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.
- Aliran Etika Theologis ialah aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidak sesuainya dengan perintah Tuhan (Theos = Tuhan).
Berdasarkan uraian tersebut diatas dari ke enam aliran
tentang etika yang paling mendasari dalam kehidupan manusia di dunia ini adalah
etika Theologis, karena manusia sebagai makhluk ciptaan Allah harus yakin bahwa
kehidupan di dunia ini merupakan kehidupan sementara dan akan mengalami suatu
kehidupan yang kekal dan abadi di akhirat kelak. Apabila melihat jumlah
penduduk Indonesia adalah suatu bangsa yang menganut Agama Islam sebanyak 90%
lebih, ini memberikan suatu jaminan bahwa pola hidup bangsa Indonesia adalah
suatu bangsa yang Islami dengan tata nilai-moral-norma yang Islami pula. Namun
kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia sekarang sangat jauh dari kehidupan
yang Islami ini, dan ini adalah suatu tugas Pendidikan Umum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan Umum (pendidikan nilai)
sangat diperlukan sekali dengan kondisi kehidupan bangsa seperti ini. Ada satu
hal yang perlu dikaji disini menurut Shri Krishna Saksena mantan ketua
departemen of philosophy di Hindu College, Delhi, mengawali tulisan beliau
berjudul ”Kedudukan filsafat desawa ini” (E. Saefuddin, 1987 ; 107) dikatakan
bahwa: Pengetahuan filsafat tidak menghasilkan keyakinan oleh karena alat
filsafat untuk tugas tersebut tidak mencukupi. Satu-satunya alat yang
dipergunakan oleh filsafat ialah akal. Sedangkan akal merupakan hanya satu
bagian dari rohani manusia dan tidaklah mungkin tuan mengerti suatu keseluruhan
dengan suatu bagian. Tuan akan bertanya kepada saya, ”Jika seandainya akal
bukan merupakan alat filsafat yang tepat, alat apakah yang mesti dipergunakan ?
juga terdapat banyak kesulitan dengan intuisi”. Jawaban saya terhadapnya ialah
keseluruhan kebenaran bisa diketahui dengan keseluruhan rohani manusia –
perasaaannya, akalnya, intuisinya, pikirannya, nalurinya, pendeknya seluruh kehadirannya.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa keseluruhan kebenaran tidak
selamanya menggunakan akal, akan tetapi keseluruhan kebenaran bisa diketahui
dengan keseluruhan rohani manusia-perasaannya, akalnya, intuisinya, pikirannya,
nalurinya, pendeknya seluruh kehadirannya. Imam Bukhori Muslim mengatakan ”Ad
–dinu huwal ’aqlu laa diina liman laa ’aqla lahu”. Yang artinya Agama itu
adalah akal, tiada agama bagi yang tidak berakal. Manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah yang diberikan kelebihan dari makhluk lainnya yaitu akal, akan
tetapi akal dalam kontek penggunaannya oleh manusia ada yang bersifat positif
dan negatif, disinilah letak peranan Pendidikan Umum dalam membina manusia
dalam hidup dan penghidupannya. H. Landasan Sosial – Kultural Pendidikan Umum
Dalam kehidupan sosial budaya saat ini manusia sudah mengarah kepada kehidupan
yang individualistis, yang tidak lagi bisa menghargai/menghormati orang lain,
sekalipun itu adalah tetangganya sendiri atau saudaranya sendiri. Seolah-olah
mereka tidak saling kenal, ini merupakan suatu gejala kehidupan yang mencolok
dalam kehidupan kota, dan didesa pun sudah mulai nampak erat hubungannya dengan
gejala urbanisasi – ialah bahwa cara bekerja, cara tradisional untuk memperoleh
nafkah hidup berubah secara individualistis. Perubahan-perubahan dalam
lingkungan hidup dan kerja itu disertai dengan perubahan dalam nilai-nilai
budaya, moral, dan agama. Perubahan-peruabahan itu nampak juga dalam
perilaku/sikap orangnya, misalnya bahwa penggunaan tatakrama dalam pergaulan
sudah tidak dipakai lagi, anak-anak sudah banyak yang tidak menghargai lagi
orang tuanya, berpindah-pindah agama, dan lain sebagainya. Franz Magnis (1986 :
22) mengatakan apa yang menyebabkan perubahan-perubahan sosial itu ? satu
jawaban yang sering dikemukakan ialah bahwa semua itu disebabkan oleh suatu
kemerosotan akhlak manusia. Jawaban ini pincang karena dua alasan : Pertama,
belum pasti bahwa semua perubahan-perubahan itu harus diartikan sebagai
kemerosotan, salah satu gejala positif misalnya adalah kesadaran yang semakin
umum tentang martabat manusia (orang menonak hukum mati) dan hak-hak asasinya.
Kedua, kalau memang ada kemerosotan moral, maka kemerosotan moral adalah akibat
dan bukan sebab dari perubahan-perubahan sosial itu. Selanjutnya dikatakan
bahwa faktor-faktor pokok yang menyebabkan perubahan-perubahan sosial itu satu
sama lain berkaitan erat, saling mendukung dan menunjang, seperti : pertambahan
jumlah penduduk, pengaruh teknologi modern dan kekuatan. Kekuatan ekonomi
internasional, lalu lintas komunikasi internasioan yang menghubungkan kita
dalam waktu sekejap dengan semua daerah lain didunia, seluruh sistem
pendidikan, dan lain sebagainnya. Berdasarkan uraian tersebut diatas,
Pendidikan Umum sangat perlu sekali disampaikan terhadap peserta didik, baik
sebagai anggota keluarga, masyarakat, bangsa, dan warga negara yang baik
ataupun dalam tingkat pendidikan dari mulai TK sampai dengan perguruan tinggi.
Kejanggalan perilaku nilai-moral-norma sangat jelas dirasakan oleh kita dalam kehidupan
manusia Indoensia saat ini. Menurut kerangka Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992
; 28) semua sistem nilai – budaya dalam semua kebudyaan didunia itu, sebenarnya
mengenai lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok itu
adalah :
- Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH)
- Masalah mengenai hakekat dari karya manusia (selanjutnya disebut MK)
- Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disebut MW)
- Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (selanjutnya disebut MA)
- Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disebut MM)
I. Asas-Asas Pendidikan Umum
Menurut Ki Hadjar Dewantara ada lima asas dalam pendidikan
yaitu : Asas kemerdekaan ; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi
bukan kebebasan yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan kebebasan yang
dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
- Asas Kodrat Alam ; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
- Asas Kebudayaan ; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).
- Asas Kabangsaan ; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain.
- Asas kemanusiaan ; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa lima asas
pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara harus menjadi asas-asas Pendidikan Umum,
karena pada dasarnya memperlakukan manusia yang manusiawi terkandung dalam
kelima asas tersebut. Bagaimana kita menghargai individu dalam hubungannya
dengan asas kemerdekaan, bagaimana kita memperlakukan alam dalam konteks
kebutuhan hidup manusia, bagaimana peran kebudayaan terhadap manusianya sebagai
warna kultur yang membentuk pribadi dan watak suatu masyarakat atau bangsa,
bagaimana konsep kebersamaan kebangsaan dan perjuangan bangsa menimbulkan suatu
sikap saling memiliki, dan bagaimana asas kemanusiaan sebagai bentuk pengakuan
bahwa tidak ada perbedaan pada tingkat/tatanan manusia sebagai makhluk Allah,
tidak mengenal pangkat, kedudukan, status sosial ekonomi dan sebagainya, dan
yang membedakan adalah hanya keimanan dan ketaqwaan di hadapan Allah.
Diambil dan Adaptasi dari: Tata Abdulah. 2004. Landasan dan
Prinsip Pendidikan Umum (Makalah). Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
Pendidikan Multikultural
Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia
(Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini)
(Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini)
Oleh: Pupu Saeful Rahmat
Staf Pengajar pada Prodi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas
Kuningan
Abstrak
Indonesia, sebagaimana negara berkembang lainnya memiliki
permasalahan sosial yang tidak sederhana. Namun, penting untuk dipertanyakan
mengapa Indonesia lebih tertinggal dari Malaysia atau Singapura, padahal
Indonesia lebih awal merdeka. Padahal konon Indonesia memiliki potensi sumber
daya alam yang sangat baik. Tetapi mengapa kualitas sumber daya manusia
Indonesia saat ini hanya berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia.
Bahkan yang paling mengerikan, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.
Krisis
ekonomi yang dikuti dengan berbagai krisis lainnya, menyadarkan kita akan
pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang
berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung
jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan.
Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.
Perkembangan
masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini
terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa
tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia
pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan “agent of change”
bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari
aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar
biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Untuk itu dipandang
sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem
pendidikan di Indonesia baik melalui substansi maupun model pembelajaran. Hal
ini dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan
wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan peserta didik dalam
menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial sosial yang terjadi pada
lingkungan masyarakatnya.
Kata Kunci: Pendidikan,
Multikultural, Masalah sosial.
1. Pendahuluan
Perkembangan pembangunan nasional
dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat
terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya
telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti
ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan
pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi
kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan
geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti
ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang
sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan
kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat.
Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras,
etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon,
Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah
menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat
memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,
Untuk itu dipandang sangat penting
memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem
pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam
menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan
kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan
masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi
maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati
keanekaragaman budaya.
2. Perspektif Tentang Pendidikan
Multikultural
Pendidikan Multibudaya dalam
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi
pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika
pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti
integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan
dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik
berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari
etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak
memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan
evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk
mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti
oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan
melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok
marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai
menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat
perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras,
kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli
teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan
reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga
pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis,
kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan
yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa
pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti
rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi
warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem
pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan
murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan
murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan
akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian
pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan
ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Wacana multikulturalisme untuk
konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang
otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu,
keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan
antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota
masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan
kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang
berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup
damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi
Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan
perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang
mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan
mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi
perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam
masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat
umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat
secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
3. Implementasi Dalam Dunia
Pendidikan
Uraian sebelumnya telah mempertebal
keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat
untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya
etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga
memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau
menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama,
dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan
multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain
yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat
multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan
penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras,
etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar
proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika
pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga
pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum
pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun
swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu
concern dari Pasal 4 UU N0. 20
Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan,
tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap
simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang
berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar
untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi
(pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama,
diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas
global.
Dalam sejarahnya, pendidikan
multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan
kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang
mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat
bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM)
dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan
sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan
sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang
mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan
hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot
karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga
pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut
lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai
perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh
dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan
dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari
konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap
sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural
yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank
adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan
konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada
pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl
Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan
lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang
membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi
dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika
keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain
terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas
pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan
ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan
multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua
dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di
sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting
dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari
kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme
akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan
Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan.
Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan
menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin,
masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi,
berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya
meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan.
Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam
diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun
secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural
dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di
negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti
Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide
pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya,
penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam
masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan
tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca
runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai
reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita
namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu,
dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk
menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan
multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan
persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis,
kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep
pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh
pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan
peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta
diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari
kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan
untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma
pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut
ini:
- Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
- Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
- Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
- Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan multikultural
mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya
mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan
kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci
dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak
adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan
terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan
terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan
kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan
hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh
terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
4. Penutup
Pendidikan multikultural sebagai
wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan
formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun
dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat
diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia
Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan
Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi
tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu
saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan
diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari
segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam
kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum
seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa.
Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam
kurikulum pendidikan misalnya dalam Out
Bond Program, dan pada
tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat
diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi,
dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok
diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
Dalam Pendidikan non formal wacana
ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model
pembelajaran yang responsive
multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras
suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan
multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana
keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media
pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi
nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam
menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan
penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya
(agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan
cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial
yang lebih berkeadilan.
5. Daftar Pustaka
Banks,
J (1993), Multicultural Eeducation:
Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in
Education.
——,
(1994), An Introduction to
Multicultural Education, Needham Heights, MA
Kuper,
Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
Zubaidi
(2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Konsep Pakem-Pembelajaran Aktif, Kreatif,
Efektif dan Menyenangkan
oleh : Depdiknas
A. Apa itu PAKEM?
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran
guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya,
mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses
aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif
yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga,
jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan
aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar.
Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka
pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk
kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru
menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat
kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan
sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu
curah perhatiannya tinggi.
Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti
meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika
proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus
dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran
memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran
hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut
tak ubahnya seperti bermain biasa.
Secara garis besar, gambaran PAKEM adalah sebagai berikut:
- Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
- Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
- Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’ Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
- Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
Apa yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM?
1. Memahami sifat yang dimiliki anak
Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan
berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak
Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki
kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya
sikap/berpikir kritis dan kreatif.
Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus
kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan,
tersebut. Suasana pembelajaran dimana guru memuji anak karena hasil karyanya,
guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk
melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang
dimaksud.
2. Mengenal anak secara perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi
dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM (Pembelajaran Aktif,
Menyenangkan, dan Efektif) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus
tercermin dalam kegiatan pembelajaran.
Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan
yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang
memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah
(tutor sebaya).
Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila
mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal.
3. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami
bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat
dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau
membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok.
Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan
baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk
berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga
menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan
kemampuan memecahkan masalah
Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini
memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis
masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis
berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan
imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir.
Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara
lain dengan sering-sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang
terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan
kata-kata “Apa, berapa, kapan”,
yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
5. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang
menarik
Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat
disarankan dalam PAKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk
memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan
diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi
bagi siswa lain.
Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan,
berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model,
benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan
pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam
PEMBELAJARAN karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.
6. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber
yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai
media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan
lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam
belajar.
Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus
keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat
biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat men-gembangkan sejumlah
keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan
pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat
gambar/diagram.
7. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan
kegiatan belajar
Mutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi
dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah
satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih
mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa.
Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara
santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi
tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan
siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan
pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya
sekedar angka.
8. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental
Banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para
siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur
berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri
yang sebenarnya dari PAKEM.
Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering
bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan
merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah
tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau
takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan
penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun
dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan
‘PAKEMenyenangkan.’
C. Bagaimana Pelaksanaan PAKEM?
Gambaran PAKEM diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang
terjadi selama PEMBELAJARAN. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan
kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut. Berikut
tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru.
Kemampuan Guru
|
Pembelajaran
|
Guru menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang
beragam.
|
Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal:
Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri Gambar Studi kasus Nara sumber Lingkungan |
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
keterampilan.
|
Siswa:
Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara Mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri Menarik kesimpulan Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri Menulis laporan/hasil karya lain dengan kata-kata sendiri |
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan
gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan.
|
Melalui:
Diskusi Lebih banyak pertanyaan terbuka Hasil karya yang merupakan pemikiran anak sendiri |
Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan
kemampuan siswa.
|
Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk
kegiatan tertentu)
Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut. Tugas perbaikan atau pengayaan diberikan |
Guru mengaitkan PEMBELAJARAN dengan pengalaman siswa
sehari-hari.
|
Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya
sendiri.
Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari |
Menilai PEMBELAJARAN dan kemajuan belajar siswa secara
terus menerus.
|
Guru memantau kerja siswa
Guru memberikan umpan balik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar